Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

#

Dalam embusan malam aku bersajak. Memesan diksi pada rong-rongan hewan malam. Entah mereka sedang apa. Lama sekali tak datang. Hingga waktu mengepungku, memojokkanku pada pojok dinding, "Ayo selesaikan!" Heni Puji Anitasari, 2018.

Pada Syair Bermakna

Bernestapa aku di imajinasi kata. Dengan alunan rima yang sama. Bersenandunglah kata demi kata. Yang terbalut apik tiap diksinya. Jiwa yang terkoyak bahagia. Walau kadang sendu mendominasinya. Tetap tak mampu lunturkan tiap-tiap suasana dan gaya bahasanya. Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2017)

Doa

Terbukanya mulut berdebu. Melafal kalimat suci pada Tuhan yang dianggap semu. Memelas ampunan tanpa urat malu,  dengan mengangkat angkuh tangan bernafsu. Diiringi nada sumpah yang terkesan pilu. Desis-desis tangis mengalun tersedu-sedu, dengan bercak tangis yang terlantar nahas di sajadah beludru. Terkandunglah itu dengan ribuan sungguh. Tentang kaum yang ingin bersujud patuh. Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2017)

Sihir Cemburu

Sakit... Di sudut mana aku tak tahu. Deskripsiku lenyap. Menguap entah ke mana. Lidah bagai diiris sembilu. Perih ketika akan berucap. Kaki pun seperti sebujur mayat, kaku. Tak bergerak meski sekadar berjinjit. Miskinlah aku akan rasa bahagia. Di saat yang terkasih mampirkan tawa mesra, pada gadis baru berparas pujangga. Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2017)

Bukan Jarak

Aku dekat. Tak berjarak kiloan dari kamu. Tapi aku jauh. Yang bersyarat akan harimu. Bukan lagi jarak. Yang tiap waktu jadi alasanmu. Untuk singgah sebentar, di gubug yang baru. Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2017)

Kembali untuk Api

Rindu yang sepintas. Pantaskah aku mengharapmu berkali-kali. Untuk datang bersimbah dalam genggamku dengan abadi. Mengupas kibaran luka yang masih tersumbat; oleh rasa berpayung yang tak menginjak tepi. Meski akhirnya kau pun akan jadi ranting yang menepi. Ke arah sama yang mempertemukanmu dengan api. Hingga pohon dan daun tahu. Kau aku pungut hanya untuk mengobati luka ini. Heni Puji Anitasari (Dikemas dalam ruang ajaib, 2018)

Ayal

Langkah kaki membawaku pergi. Mengayun tegap pada fana yang sukar dicari. Hingga berakhirlah pada sebuah ilusi dan delusi. Heni Puji Anitasari (Dikemas dalam ruang ajaib, 2018)

Sajak Buku

Menyelam pada pijakan akan sumber keilmuan. Waktu dan imaji ikut menari bersama kata demi kata yang sudah beraturan. Membawa sang pembaca masuk pada pintu kedamaian; yang akan dilarut membentuk kemampuan. Janganlah dikau ragukan. Buku yang adalah lentera pendidikan. Heni Puji Anitasari (Dikemas dalam ruang ajaib, 2018)

Dalam Kesenyapan

Terkurung dalam kesenyapan. Melepas ruas pada daya pikir untuk mengingat, apa yang ragamu telah ciptakan. Mengabaikan gemuruh yang tengah bersua kencang. Seiring bayangan yang enggan berhenti berkelebatan. Terkurung dalam kesenyapan. Tak bisa bergerak selain doa dan diam. Diselingi dengan sebuah pencarian dan renungan. Untuk mencari makna kata kesunyian. Heni Puji Anitasari ( Dikemas saat SMA, 2017)

Sisa Hujan

W angi tanah sudahlah basah. Munculkan kesan tanpa ada imitasi. Tercium sendiri oleh indra pengendus wangi. Awan putih sudah membias. Munculkan garis-garis warna yang bercakrawala. Tersajikan untuk mata-mata keranjang pendosa. Rupa pucuk daun sudah  bermetamorfosa. Menjadi elok bagai Cinderella. Ketika ditumpangi tetes air dari tangis langit raya . Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2017)

Rasa Itu

Tepat saat iris memerangkap tubuhmu. Jantung tak tenang. B erdegup cepat tak mengenal lelah, mengoyak pikir yang sedang tergoyah. Tepat saat iris meyorot lengkung bibirmu. M ata tak ingin lepas dari itu. Terus menatap tak kenal waktu. Tak dapat   memungkiri lagi. A ku mulai mencintai kamu, Wahai sebab degup jantungku. Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2018)

Bualan

Mendung berhamburan dari kaki langit. Membelah terang lahirkan kehitaman. Meninggalkan kesan yang sedu sedan. Senyum lirih melambai menyeru keadaan. Merayu pada sukma untuk ikut turun tangan. Untuk tinggalkan warna dan semerbak duka pada perasaan. Tersedu mata menatap langit tak terang. Berhiaskan lorong yang sudah terasingkan. Menoleh kepala menelanjangi awan hitam. Hingga temukan sebercak sisa-sisa mirip kenangan. Tak berbentuk; tak tertata rapi seperti buku di perpustakaan. Namun, berserakan seperti sampah pada tiap selokan; rusuh. Heni Puji Anitasari (Dikemas saat SMA, 2017)